SELAMAT DATANG DI BLOG UPT PUSKESMAS SLEMPIT
Februari 2018 ~ UPT PUSKESMAS SLEMPIT

DINAS KESEHATAN KABUPATEN GRESIK

Minggu, 18 Februari 2018

Kegiatan ORI Difteri Putaran 1 Puskesmas Slempit


Pada hari ini (19 Februari 2018) dimulai kegiatan ORI di Puskesmas Slempit
Kegiatan ini diawali dengan sasaran Murid SD , TK dan PAUD
Sesuai jadwal yng sudah dipublikasikan, hari ini kegiatan ORI  bertempat SDN Glindah 1 ,TK Darmawanita Slempit 1,PAUD Lingsir Slempit dan PAUD Cermen. Total 244 anak didik yang menjadi target kegiatan hari ini
Kegiatan berjalan lancar tidak ada kendala dan tidak ada penolakan dari masyarakat maupun wali murid.
Kegiatan ini juga mendapat dukungan luas dari masyarakat terutama dari fihak sekolah guru,bunda PAUd dan TNI juga terlibat berperan aktif
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengalami Kejadian Luar Biasa Penyakit Difteri dan Jawa Timur menempati rangking pertama jumlah penderita Difteri
Kegiatan ORI adalah jawaban untuk mencegah meluasnya wabah Difteri

Walaupun Wilayah Puskesmas Slempit tidak ada warga yang terkena penyakit difteri tetapi tetap menargetkan pencapaian 100% dari sasaran yang sudah terdata










Kamis, 08 Februari 2018

Aturan untuk Imunisasi Difteri

Ketahui, Ini Aturan untuk Imunisasi Difteri, Jangan Salah Lagi

Murid-murid SD Negeri 2 Sukamaju Baru Depok jalani imunisasi difteri, Senin (11/12/2017).
Murid-murid SD Negeri 2 Sukamaju Baru Depok jalani imunisasi difteri, Senin (11/12/2017).(KOMPAS.com/IWAN SUPRIYATNA)

KOMPAS.com - Wabah difteri yang sedang melanda negeri ini, menjadi duka cita mendalam untuk dunia kesehatan Indonesia. Orangtua diharap lebih perhatikan buah hatinya.
38 anak Indonesia telah meninggal dunia karena difteri. Belum berakhir, masih ada sekitar 600 anak dari 120 kota kabupaten di Indonesia sedang berjuang melawan penyakit ini.
Soedjatmiko, Sekretaris Satgas Imunisasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) mengatakan, penyakit yang dibawa oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae timbul karena masyarakat tidak pernah atau tidak lengkap dalam melakukan imunisasi anti difteri.
Dia mengatakan, imunisasi difteri yang terdapat dalam imunisasi DPT ( Difteri, Pertusis, dan Tetanus) tidak bisa hanya dilakukan satu dua kali saja. Harus lengkap. Bagi orangtua, hal ini dapat dilihat lagi dalam buku atau kartu imunisasi.
Baca Juga: Kemenkes: Difteri Tahun Ini Luar Biasa
"Sampai umur setahun harus 3 kali DPT. Sampai umur 2 tahun harus sudah 4 kali DPT. Sampai umur 5 tahun harus 5 kali (DPT). Kelas 1 SD ditambah lagi 1 kali DT.
Kelas 2, 3, atau 5 tambah 2 kali TD," jelas Soedjatmiko kepada Kompas.com, Senin (11/12/2017).
"Sampai kelas lima SD harus delapan kali (imunisasi DPT). Itu baru lengkap. Sayangnya hanya sedikit yang lengkap," tegasnya.
Soedjatmiko menyarankan bagi para orangtua, apabila lupa atau kurang memberikan imunisasi DPT kepada putra putrinya, untuk segera mendatangi puskesmas atau rumah sakit untuk melengkapi.
Dia menambahkan, jika dalam suatu daerah sudah berstatus kawasan KLB (Kejadian Luar Biasa) - satu kasus difteri sudah bisa disebut KLB - maka semua anak yang berumur 1 sampai 19 tahun harus ditambah tiga kali imunisasi difteri lagi, dengan interval 0-1-6 bulan.
Maksud 0-1-6 adalah imunisasi diberikan pada bulan ini, satu bulan kemudian diimunisasi difteri lagi, dan terakhir enam bulan kemudian.

Hentikan Wabah Difteri di Indonesia, Pemerintah Bakal Lakukan ORI! Simak Penjelasan Ahlinya


Hentikan Wabah Difteri di Indonesia, Pemerintah Bakal Lakukan ORI! Simak Penjelasan Ahlinya
TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR
Seorang murid ketakutan ketika petugas medis memberikan suntikan imunisasi TT (Tetanus Toksoid) di SDN Bawakaraeng 3, jl Gunung bawakaraeng, Makassar, Sulsel, Rabu (15/10). Kegiatan imunisasi itu merupakan bagian dari program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) guna memberikan perlindungan bagi anak-anak usia sekolah dasar terhadap penyakit campak, difteri dan tetanus. TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dipenghujung 2017 Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri pada anak semakin meluas dan menyebar di hampir diseluruh wilayah Indonesia.
Data terbaru dari kementrian kesehatan Desember 2017, menunjukan bahwa wabah difteri sudah tersebar di 20 provinsi dan 95 kabupaten kota.
Menurut Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp. A(K), 
Staff Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM, adat 3 cara untuk menanggulangi wabah penyakit difteri, yaitu imunisasi, imunisasi dan imunisasi.
Dengan kata lain, satu-satunya yang dapat dilakukan untuk mengatasi wabah ini hanya Imunisasi.
Hartono menungkapkan, sebagai solusi KLB difteri pemerintah mencanangkan imunisasi ORI (Outbreak Renponse Imunisasion).
"ORi adalah imunisasi tambahan tanpa memandang riwayat imuniasi sebelumnya," paparnya.
"Mekanisme imumisasi ORI, jika seorang terjangkit penyakit difteri maka semua orang di desa tersebut harus di imunisasi, tanpa kecuali." Papar dr. Hartono.
Sesuai rencana, imunisasi ulang serentak alias ORI akan dimulai pada tanggal 11 Desember 2017.
Setelah tahap pertama selesai, tahap kedua akan dilaksanakan 11 Januari 2018 dan tahap ketiga pada 11 Juli 2018.
Sasaran umur pun diperluas dari usia 1 tahun sampai 19 tahun.
Imunisasi pertama akan dilakukan di 3 Provinsi yang memiliki kasus difteri paling banyak, yaitu DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Selain karena kasusnya paling banyak, kepadatan penduduk di 3 provinsi tersebut juga tinggi.
Hartono berpesan, masyarakat harus mendukung kebijakan pemerintah ini agar dapat terselenggara dengan berhasil.
Untuk mencegah perluasan wabah difteri Bunda dan keluarga sebaiknya ikut berpartisipasi agar wabah difteri bisa berhenti dan tidak menyebar lagi. (Nakita/Nia Lara Sari)

KLB Difteri dan ORI

Kriteria KLB Difteri dan Outbreak Respon Immunization (ORI)

Sebagaimana kita ketahui, saat ini kita dikejutkan dengan data dan berita tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di berbagai kota dan propinsi di Indonesia. Berbagai daerah melaporkan kejadian difteri pada berbagai range usia, dengan sebagian besar pada anak-anak. Disatu sisi penyakit difteri dan penyakit karena virus atau bakteri, menjadi sangat menjadi masalah kesehatan masyarakat karena kecepatan penularannya. Namun disisi lain lebih punya harapan untuk ditanggulangi karena perkembangan teknik dan jenis imunisasi telah sedemikian berkembang dan terbukti efektif mampu mencegah perkembangan penyakit karena virus dan bakteri.
Persoalan kemudian muncul karena metode imunisasi mensyaratkan tingginya cakupan karena secara epidemiologi, untuk mampu memutuskan rantai penularan harus tercipta kekebalan komunitas, tidak lagi berbicara soal kekebalan individu. Dan itu baru dapat dipenuhi jika cakupan imunisasi di masyarakat tinggi. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka jika muncul satu kasus makan akan cepat menyebar dan potensial menimbulkan KLB.
Berdasarkan hal diatas, pemilihan metode outbreak respon imunisasian(ORI) yang dipilih oleh Kemenkes untuk meredam penyebaran difteri menjadi pilihan paling memungkinkan untuk dipilih. Bagaimana Difteri, KLB, dan ORI harus dilaksanakan? Berikut disarikan dari berbagai sumber.
Penyakit Difteri adalah penyakit menular akut pada tonsil, faring dan hidung kadang-kadang pada selaput mukosa dan kulit. Difteri dapat menyerang orang yang tidak mempunyai kekebalan.
Definisi kasus difteri (WHO-2003):
  • Kasus klinis (Probable), adalah kasus yang memenuhi deskripsi klinis difteri, antara lain ditandai dengan Faringitis, Laringitis atau tonsilitis dan ditemukannya membran yang melekat pada faring/laring atau mucosa hidung
  • Kasus confirm, adalah kasus probable difteri yang dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium atau berhubungan secara epidemiologi dengan kasus terkonfirmasi. Kasus klinis yang ditemukan kuman difteria pada pemeriksaan spesimen. Kasus klinis dan terdapat hubungan epidemiologi
Gambaran umum penyakit difteri antara lain sebagai berikut:
  • Kuman Penyebab : Corynebacterium diphtheriae
  • Sumber penularan : Manusia (Penderita/Carrier)
  • Cara penularan : Kontak dengan penderita pada masa inkubasi, Kontak dengan Carrier, Melalui pernafasan (droplet infection, muntahan, luka (difteri kulit)- Mencemari tanah sekitarnya.
  • Masa Inkubasi: 2 –5 hari
  • Masa penularan : Dari penderita : 2 – 4 minggu (sejak
  • masa inkubasi) Dari Carrier bisa sampai 6 bulan
Kriteria KLB Difteri jika ditemukannya minimal satu kasus Difteri Klinis. Deskripsi kliniskasus difteri adalah penyakit yang ditandai dengan laringitis atau faringitis atau tonsilitis, dan membran adheren (tidak mudah lepas) pada tonsil, faring dan/atau hidung. Atau kasus yang menunjukkan gejala gejala demam, sakit menelan, dan pseudomembran putih keabu-abuan, yang tidak mudah lepas dan mudah berdarah (Pedoman Penyelidikan dan penggulangan KLB Penyakit menular dan Keracunan Pangan, 2017). Sangat dimungkinkan bahwa KLB Difteri terjadi karena adanya Immunity Gap dalam populasi. Hal ini menjadi faktor risiko penularan menjadi tinggi, diantaranya karena  akumulasi kelompok yang rentan terhadap difteri karena faktor tidak diimunisasi atau tidak lengkap mendapatkan imunisasi
Beberapa tindakan sebagai langkah kewaspadaan terhadap kejadian KLB Difteri antara lain dengan segera melengkapi imunisasi DPT/DT/Td anak sesuai jadwal imunisasi anak (jadwal Kemenkes maupun IDAI). Kriteria imunisasi difteri lengkap adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2017):
  • Usia kurang dari 1 tahun harus mendapatkan 3 kali imunisasi difteri (DPT).
  • Anak usia 1 sampai 5 tahun harus mendapatkan imunisasi ulangan sebanyak 2 kali.
  • Anak usia sekolah harus mendapatkan imunisasi difteri melalui program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) siswa sekolah dasar (SD) kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 atau kelas 5.
  • Setelah itu, imunisasi ulangan dilakukan setiap 10 tahun, termasuk orang Apabila status imunisasi belum lengkap, segera lakukan imunisasi di fasilitas kesehatan terdekat.
Prinsipnya cakupan imunisasi pada kelompok umur tersebut diatas harus tinggi (target minimal 95%) dan merata di setiap wilayah.
Outbreak Respon Immunisation (ORI)
Pada daerah terjangkit Kejadian Luas Biasa (KLB), dilakukan imunisasi sebagai respon cepat yang berdasarkan hasil kajian penyelidikan epidemiologi untuk mencegah meluasnya KLB. Setiap anak di wilayah KLB dan sekitarnya yang belum lengkap imunisasi, diberikan imunisasi sesuai usia dengan ketentuan sebagai berikut (Kemenkes RI, 2017) :
  1. Bayi < 1 tahun, diberikan imunisasi DPT-HB-Hib untuk melengkapi imunisasi sebelumnya sesuai dengan interval pemberian.
  2. Usia 1-3 tahun, diberikan imunisasi DPt-Hb-Hib
  3. Usia 4-7 tahun, diberikan imunisasi DT
  4. Usia 7 tahun, diberikan imunisasi Td
  5. Untuk item b sampai dengan d imunisasi diberikan tanpa memandang status imunisasi sebelumnya.

Pemerintah Laksanakan ORI Difteri Serentak


Seorang siswa berekspresi saat diimunisasi difteri pada sosialisasi komitmen pelaksaan kegiatan Outbreak Response Immunization (ORI) Difteri di Sekolah SMAN 33 Jakarta, Jalan Kamal Raya, Jakarta Barat, Senin (11/12).
Seorang siswa berekspresi saat diimunisasi difteri pada sosialisasi komitmen pelaksaan kegiatan Outbreak Response Immunization (ORI) Difteri di Sekolah SMAN 33 Jakarta, Jalan Kamal Raya, Jakarta Barat, Senin (11/12).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta resmi melaksanakan Outbreak Response Immunization (ORI) difteri untuk menghadapi penyakit yang disebabkan bakteri Corynebacterium Diphteriae. Pelaksanaan dimulai Senin (11/12) hari ini di Jakarta Utara (Jakut) dan Jakarta Barat (Jakbar).
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengakui pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta hari ini memulai melaksanakan ORI di wilayah Jakut dan Jakbar. Difteri merupakan satu penyakit yang sangat menular dengan masa inkubasi dua sampai lima hari, dan bisa menular dalam waktu dua sampai empat pekan. Penyakit ini, kata dia, disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphteriae dan sifatnya penyakit infeksi yang sangat menular."Kasus penyakit ini terus meningkat di Jakarta," ujarnya saat pembukaan pelaksanaan Outbreak Response Immunization (ORI) Difteri, di SMAN 33 Jakarta, Senin (11/12).
Ia menyebutkan pada 2014 lalu terjadi empat kasus difteri di ibukota Indonesia ini. Kemudian 2015 meningkat menjadi sembilan kasus, kemudian 2016 meningkat lagi menjadi 17 kasus. Sementara tahun ini per hari ini sudah terjadi 25 kasus difteri.
Ia menegaskan pemerintah provinsi DKI Jakarta harus merespons dengan cepat dan penyebaran penyakit yang bisa menyebabkan kematian ini. Ini mengingat penyakit ini telah menyebar di semua wilayah kota kecuali Kepulauan Seribu. Sementara kasus terbanyak atau 52 persen kasus di Jakarta Utara (Jakut).
Untuk menyikapi peningkatan kasus difteri tersebut, kata dia, sesuai dengan rekomendasi dari Kementerian Kesehatan no: SR.02.06/II/3150/2017 tentang teknis pelaksanaan ORI, yaitu pemberian imunisasi setelah mendapat laporan kejadian luar biasa (KLB) difteri. Untuk itu, kata dia, ORI difteri dilakukan di wilayah Kota Jakarta Barat (Jakbar) dan Jakut.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto menambahkan, difteri sebenarnya selalu terjadi di Jakarta setiap tahun. "Kenapa kena difteri? karena tidak mau mendapat imunisasi (Difteri Pertusis Tetanus/DPT)," ujarnya.
Jika mendapat imunisasi DPT lengkap, kata dia, meski orang yang sehat berinteraksi dengan orang yang terkena difteri maka dia dipercaya tidak akan tertular. Imunisasi rutin dasar lengkap ini diberikan pada usia dua bulan, empat bulan, 18 bulan, dan usia sekolah dasar.
Ia menjelaskan, pelaksanaan ORI di Jakarta Barat dan Jakarta Barat dengan tata cara ketentuan sebanyak tiga putaran. Pertama ORI dilaksanakan sebanyak tiga putaran dengan sasaran anak satu sampai kurang dari 19 tahun dengan interval 0-1-6 bulan.
Adapun ketentuan pemberian vaksin adalah DPT-HB-Hib untuk anak usia satu tahun sampai kurang dari lima tahun. Kedua DPT untuk anak usia lima tahun sampai kurang dari tujuh tahun. Kemudian Td untuk anak usia tujuh tahun hingga kurang lebih 19 tahun.
"Program ORI akan dimulai serentak di Jakbar, dan Jakut mulai pekan kedua Desember 2017 untuk putaran pertama, pekan kedua Januari 2018 untuk putaran kedua, dan Juni pekan kedua 2018 putaran ketiga. Adapun sasaran ORI di Jakut dan Jakbar sebanyak 1.238.283 jiwa, tersebar di seluruh jenjang sekolah mulai taman kanak-kanak (TK), pendidikan anak usia dini, sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama sederajat, dan sekolah menengah atas (SMA) serta perguruan tinggi.
Tak hanya Jakarta, ORI difteri juga dimulai per hari ini di Provinsi Banten, dan Provinsi DKI Jalarta

RESPONSE IMMUNIZATION (ORI)


OUTBREAK RESPONSE IMMUNIZATION (ORI) IMUNISASI PASKA KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

wp-1513215542194..jpgOutbreak Response Immunization (ORI) Imunisasi Paska Kejadian Luar Biasa (KLB)

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan melakukan outbreak response immunization (ORI) yaitu pemberian imunisasi setelah mendapat laporan kejadian luar biasa (KLB) difteri di 19 provinsi. ORI artinya pemberian imunisasi setelah terjadinya laporan KLB (difteri). Tak hanya di tingkat provinsi,  ORI bisa diperluas, kalau perlu menjangkau kabupaten. Kemenkes akan melakukan bantuan teknis misalnya kalau tidak ada vaksin maka Kemenkes memasok vaksin. Atau masalah teknis lainnya seperti jika daerah membutuhkan sumber daya manusia kesehatan, Kemenkes siap memberikan pendampingan. Kemenkes, sebenarnya sudah mengingatkan bahaya penyakit ini. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek sudah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan pada 28 April 2017 kepada seluruh gubernur dan bupati untuk waspada terhadap adanya kasus difteri. 
Imunisasi menjadi salah satu langkah untuk mencegah penularan difteri. Wabah penyakit akan terjadi bila banyak bayi dan balita tidak diimunisasi. Karena difteri dapat menyerang siapa saja yang tidak memiliki kekebalan. Salah satu kelompok masyarakat yang rentan terkena difteri ini adalah anak-anak. Itu sebabnya, imunisasi menjadi pencegahan utama difteri. Hal tersebut sudah terbukti di beberapa negara Asia, Afrika, termasuk Indonesia. Wabah difteri pernah terjadi pada tahun 2009 hingga 2011 di Jawa Timur dan menyebar ke Kalimantan Timur, Selatan, Tengah, Barat, dan DKI Jakarta, menyebabkan 816 anak harus di rawat di rumah sakit, 54 meninggal, terutama yang imunisasinya belum lengkap atau belum pernah imunisasi DPT.
Banyak penelitian imunologi dan epidemiologi di berbagai negara membuktikan bahwa bayi dan balita yang tidak diimunisasi lengkap, tidak mempunyai kekebalan spesifik yang optimal terhadap penyakit menular berbahaya. Mereka mudah tertular penyakit tersebut. Itu sebabnya dengan meningkatkan cakupan imunisasi, maka penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi akan berkurang secara bermakna
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net